Mengapa Kau Pergi





          Hay hayyyy,,,jumpa lagii dengan sayyya ,di blog saya kali ini saya ingin memberikan cerita pendek yang sudah saya susun rapih.jangan lupa kritik dn komen nya yaahh...

  Aku tak pernah mengerti apa yang kurasa. Rindu yang tak pernah begitu hebatnya.
            Jari telunjukku masih terus menari-nari diatas papan yang penuh dengan tempelan kertas-kertas bergaris itu. Mencari dimanakah namaku disebutkan. Akankah aku akan bernasib sama dengan orang-orang yang menangis di pojok ruangan itu? Entahlah.. kuharap hal itu tidak terjadi padaku. Keyakinanku masih kuat, aku pasti LOLOS! Pasti.
            10 menit berlalu...
            Aku capek, tanganku pegal. Namun namaku tak kunjung juga kutemukan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Aku melangkah gontai menuju tempat parkir. Sirna sudah harapanku untuk menjadi bagian dari mereka. Mahasiswa Universitas Trisakti. Aku menendang kerikil kecil tak bersalah itu. Perasaan sedih. Emosi. Kecewa. Semua bercampur menjadi satu.
            Pupus sudah harapanku.
            Aku baru akan menstarter motorku , namun tiba-tiba ada yang menyerukan namaku. Aku menoleh kebelakang.
            “Nand…Nandaaa!”
            Suara itu makin jelas di telingaku. Oh, itu dia. Dia adalah Martina, sahabatku. Kubuka kaca helm yang menutupi wajahku.Martina berhenti tepat didepan motorku. Ia mencoba menetralisir napasnya yang tersengal-sengal.
            “Ada apa, Mar?”
            Martina tersenyum. “Kamu mau kemana? Buru-buru banget kayaknya.”
            “Mau pulang. Gak ada guna aku disini.”
            “Hei, kenapa?”
            “Aku kan gak lolos. Jadi, untuk apa aku masih disini?” jawabku sambil menutup kembali kaca helmku.
           Martina mendelik. “Tunggu dulu.. bukannya kamu lolos? Kamu ambil Hukum, kan?”
            “Iya. Tapi namaku nggak ada disana!”
            “Nanda sayanggg.. nama kamu ada. Di papan pengumuman beasiswa. Itu artinya, kamu lolos pluuusss dapat beasiswa!” teriak Martina senang.
            Aku tercengang mendengar tuturan Martina. Sungguh? Apa aku tidak bermimpi?
            “Kamu nggak lagi becanda kan,MaR??” tanyaku mencoba meyakinkan diriku sendiri tentang penjelasan Martina.
            “He-eh. Kalau nggak percaya, kamu lihat saja sendiri.”
            Aku segera melepas helm ku dan turun dari motor. Ku tarik tangan Martina untuk mengantarku ke papan pengumuman yang di maksud Martina. Martina hanya berdecak kesal melihat tingkahku ini. Jari-jariku dengan cekatan bergerak kesana kemari diatas papan pengumuman itu. Dan, akhirnya.. ku temukan namaku yang jelas tercantum disana. Aku lega. Bersyukur. Terima kasih tuhan..
            ***
            18 Agustus 2007.
OSPEK berjalan lancar. Hampir nggak ada kendala, hingga tiba-tiba seorang senior datang.
            “Siapa yang hari ini berulang tahun? Maju kesini, hayo ngaku!” teriak Senior itu. Aku berdecak. Yah, kenapa? Karena hari ini adalah ulang tahunku. Tapi, aku enggan untuk mau maju. Biarin saja lah.
            “Maju sekarang, atau saya panggil ke depan?” bentak senior yang dari IDCard nya aku tahu kalau namanya Zahraa Thamara.
            “Baiklah, Nanda Ausa dan Cakka Nuraga. Maju ke depan!” bentak Zahra lagi.
            Aku melengos. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku ke podium. Marttina menepuk-nepuk bahuku. Percuma cha, aku nggak bakal semangat. Paling juga mau di hukum.
            Ternyata dugaanku keliru. Aku dan orang yang bernama Cak.. cicak.. siapa tadi? Yah, Cakka. Di suruh meniup lilin bareng-bareng. Cowok itu memang ganteng, dan cool. Rambut harajuku nya begitu pas di kepalanya. Tunggu dulu, sepertinya aku salah memilih kosakata. Yah, terserahlah.. yang pasti dia cocok dengan style rambut harajuku. Dia dengan ogah-ogahan meniup lilin.
            Aku baru tahu kalau ternyata dia alergi dengan ulang tahun. Hm, maksudku dia membenci ulangtahun, ah bukan! Mungkin.. Hmm, dia membenci kue ulang tahun. Dia benci merayakannya. Aku bingung dengan jalan pikirannya. Dari situ, aku berniat untuk mengubah asumsinya bahwa ulang tahun itu menyebalkan. Dan dari situ pula, aku mengerti alasan dia membenci ulang tahun.
***
            Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu, meski kau takkan pernah tahu.
18 Agustus 2008.
“Selamat pagi dunia. Selamat pagi, Na-auku. Selamat pagi, my birthdayyyyyyyy!!!” Na-au memang panggilan kesayangan dari Mama dan Cakka ikut-ikutan memanggilku Na-au .aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Segera ku bersiap untuk kuliah hari ini, ada kelas pagi. Aku sedikit membenci ini, antre kamar mandi. Bergantian dengan kakak semata wayangku, Gabriel. Meskipun dia cowok, mandinya nggak kalah lama dariku. Mungkin apabila dia masuk kamar mandi pada jaman mesolithikum, ia baru akan keluar pada jaman neolithikum. Ah, tidak. Ini berlebihan.
“Happy birthday, Na-au!” teriak Martina begitu aku membuka pintu rumah. Di tangannya terpampang nyata, sebuah kue ulang tahun kecil dengan lilin angka 19 di atasnya. Aku tersenyum, kemudian memeluk Martina. Ia adalah sahabat terbaikku. Ia mengedipkan-kedipkan matanya. Aku tau maksudnya, aku menyeringai padanya.Martina hanya nyengir kuda.
            Ada satu hal yang aku benci dari Martina, ia begitu tergila-gila dengan kata TRAKTIR! Maklum, hidup sebagai anak kost memang akan sangat bahagia begitu mendengar kata t-rak-tir-an.
***
Universitas Trisakti.
            Aku mempercepat langkahku. Setengah berlari. Ini sudah jam berapa? Aku nggak boleh telat, apalagi kalau harus mendengarkan petuah-petuah Mrs. Antri. Dosen terkiller di Trisakti. Kemudian harus meminta tanda tangan seluruh dosen, keluar masuk kelas Hukum. Mulai dari semester 1 sampai akhir. Dengan kalung keramat bertuliskan “YOU LATE? YOU’LL GOT A PUNISHMENT”. Tidak! Ini tidak boleh terjadi.
            Oh tuhan, kenapa juga koridor kampus harus sepanjang ini? Kini aku benar-benar berlari. Nggak setengah-setengah. Nah, itu dia. Itu dia pintu kelasku. Yeah, aku selamat. Aku selamat! Wow! Aku tersenyum penuh kemenangan. Segera ku ayunkan tanganku pada kenop pintu.
            “Kreeekkk!”
            Aku melongokkan kepala ke dalam. Berpuluh pasang mata menatapku seakan aku adalah tersangka pencuri sandal di masjid. Aku masuk kelas dengan pede nya, heran deh. Kenapa? Apa ada yang aneh dengan kostumku hari ini? Aku bukan badut ancol, wey! Tidak. Bukan ini alasannya.
            Martina melirik ku. Bola matanya bergerak kekiri. Ke belakang maksudnya.
            “Kenapa sih, Mar? Mata kamu kenapa? Kenapa juga semuanya pada diem?” aku masih tidak mengerti. Bagiku, semuanya ini aneh.
            “Oh ya. Miss Antri belum masuk kan? Haha, gue berhasil lolos dari ancaman ituh dosen. Yihaaa!” Aku bersorak dengan riangnya. Sampai akhirnya sebuah tangan memegang pundakku. Seketika aku menoleh ke belakang.
            “Ohh..” aku menoleh kedepan lagi.
            “Apaaaaa?” astaga! Aku baru sadar kalo ternyata itu adalah tangan Miss Antri. Ya tuhann..
            Aku di hukum. Ya, apalagi kalau bukan dengan meminta tanda tangan seluruh dosen fakultas hukum. Dan yang tidak akan pernah dilupakan adalah kalung keramat “YOU LATE? YOU’LL GOT A PUNISHMENT”. Oh, aku muak dengan ini. Seandainya aku punya nyali lebih, mungkin pipi kanan orang-orang yang menatapku dengan melotot itu akan merah hitam karena tamparanku. Aku masuk kelas anak semester 6, semester akhir. Sebagian dari mereka adalah mahasiswa abadi, mahasiswa yang mungkin menghabiskan hidupnya dengan kuliah. Terlambat lulus. Hmmhh, aku menghela nafas panjang. Oke, siapkan mentalmu Nandaaa. Aku memutar kenop pintu, masuk. Terkejut, ternyata ada korban Miss Antri juga hari ini, selain aku tentunya. Astaga!
            “Cakk.. ka?” aku berniat memanggilnya. Takut salah, sengaja ku potong. Berhasil, dia menoleh. Ternyata benar, aku ingin tertawa. Namun, aku tahan. Oh god, hukuman Cakka lebih berat.  Sepasang sepatu menggantung dilehernya, ditambah sebuah pita merah besar dirambutnya. Tabahkanlah hatimu, nak.
            Aku berjalan mendekati meja Pak Irsyad. Beliau adalah dosen yang nggak kalah disiplinnya dari Miss Antri. Menurut mitos, mereka satu ordo, satu spesies, satu keturunan. KILLER! Ku serahkan map berwarna biru muda kepada beliau. Ia menurunkan kacamatanya, melihatku dari bawah ke atas dan berhenti tepat menatap mataku. Tubuhku bergetar, positive thinking. Mungkin, beliau terpesona melihat mahasiswa secantik aku. Hah, tidak tidak tidak.
            “Tanda tangannya, Pak.” Aku membuka suara. Beliau mengalihkan pandangan ke map di mejanya. Kemudian menatap aku dan Cakka. Aku menatap cakka, begitupun sebaliknya. Di belakang, para mahasiswa abadi berteriak kegirangan. Jam Pak Irsyad sudah berkurang 20 menit, itu sangat menyenangkan. Aku menghela nafas.
            “Pak, saya minta tanda tangannya,” ucapku sekali lagi.
            “Saya juga, Pak,” tambah Cakka.
            “Nyanyi dulu,” aku cengo. Cakka melongo.
            “Tapi, Pak” ucap kami bersamaan.
            “Nggak ada alasan, mau tanda tangan silahkan menyanyi dulu,” ia membetulkan letak kacamatanya. Aku dan Cakka melengos, menghela napas panjang. Dan..... bernyanyi.
***
            Hari ini betul-betul menyebalkan. Aku terus menggerutu hingga pulang kuliah. Terlebih, gara-gara motor matic ku yang tiba-tiba mogok. Kalau kata BCL di lagunya nih, ku ingin marah melampiaskan tapi ku hanya sendiri disini. Wey, salah. Aku tidak sendiri, ada dia.. Cakka.
            “Kenapa, Na-au? Mogok ya?,” ia melepas helm dan turun dari Jazz merahnya. Rambutnya yang berantakan malah membuatnya tambah... ganteng. Cool banget-bangetan.
            “Oh, ehm, ini kka... biasa, langganan bengkel.. he..he..he..” jawabku seraya menggaruk tengkuk ku yang sebenarnya nggak gatal. Ia mendekati motorku, jongkok. Mencoba memeriksa apa yang sekiranya membuat mesin motorku mogok.
            “Ini perlu dibawa ke bengkel lagi,Au. Mungkin dia kangen sama suster yang ngerawat dia. Ha..ha..ha..” canda Cakka. Sebenarnya aku ingin tertawa. Tapi tidak mungkin, dengan keadaan motorku yang akut ini mana mungkin aku bisa tertawa. Aku hanya tersenyum tipis dan sedikit tertawa yang dipaksakan.
            “Hah.. ha.. ha-haaaa..hah..HAH,”
            Cakka terdiam. “Itu tadi apa,?”
            “Aku tertawa.” Jawabku seadanya.
            “Oh tidak, ini tidak mungkin. Nandaa, akan lebih baik apabila kau tidak tertawa.” Ucapnya mendramatisir.
            Aku merengut. “Cakka, bahasamu terlalu berlebihan. Dan itu tidak baik.” Ucapku tegas.
            “Baiklah, mungkin kau memang pantas menjadi seorang hakim. Terlalu serius.”
            “Terserah apa katamu. Aku mau pulang.” Ucapku datar, kemudian mendorong motorku. Cakka menghalangi jalanku.
            “Cakka, minggir. Aku mau lewat.”
            “Silakan.” Cakka mengangkat kedua tangannya.
            “Tapi kau menghalangi jalanku.” Aku sedikit membentaknya.
            “Akan lebih baik apabila kau ku antar pulang, dan motormu ditinggal disini. Nanti, aku akan suruh orang untuk membawanya ke bengkel. Dan ku pastikan, bahwa besok pagi motormu sudah ada di depan rumahmu.” ujarnya yakin.
            “Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri, aku tidak mau merepotkanmu,”aku mendorong motorku lagi.
            “Nandaa, plis. Percaya sama aku, kita teman bukan?”
            Aku berhenti. Menoleh ke belakang, menatap Cakka. Ia tersenyum manis, meyakinkan. Aku pun menurut. Dia kemudian menyerahkan sebuah helm padaku. Aku menerimanya dengan.. yah, senang hati. Aku tidak bisa memungkirinya.
Di bonceng motor Cakka? Fantasi nya sungguh luar biasa, aku berpegangan pada tas Cakka. Boro-boro melingkarkan tangan di perutnya, memegang tas nya saja aku perlu merenung selama 10 menit. Sial! Cakka ngebut, aku pontang panting memepertahankan posisiku supaya tetap nyaman walau hanya dengan berpegangan pada tas Cakka. Di belakang nggak ada pegangan pula, dari kaca spion aku bisa melihat bahwa Cakka sedang tersenyum. Sungguh sial! Awas saja, begitu turun akan ku damprat habis-habisan dia. Aku sudah bertekad.
            “Sudah sampai nona,” ucapnya begitu motornya berhenti di depan rumahku.
            Aku turun dengan sempoyongan. Kemudian melepas helm ku, aku sudah akan membuka mulut memaki kelakuan Cakka yang ugal-ugalan tadi ketika tiba-tiba Cakka menyerahkan setangkai mawar merah padaku. Aku melongo beberapa detik. Tangan yang semula berniat untuk meninju Cakka ku turunkan.
            “Happy Bitrhday, little angel.” Ucapnya dengan senyum manis khasnya. Hatiku berdebar, kemudian menerima mawar merah itu.
            “...” aku terdiam. Cengo.
            “Hei, kenapa kau melamun? Kamu nggak suka mawar?” Cakka mendelik.
            “Ya. Eh, hm, maksudku aku menyukai mawar ini. Ya, aku menyukai ini.” Ucapku belepotan sambil sesekali menyium mawar ini. Cakka ikut tersenyum, oh senyuman itu sungguh menyejukkan jiwa. Ah...
            “Tunggu, darimana kau tau kalau hari ini aku berulangtahun?” aku mengernyit.
Lagi-lagi dia tersenyum. “Bukankah kita pernah dihukum, hm, bukan, lebih tepatnya.. meniup lilin bersama?” ia mengedikkan bahu.
            Aku masih bingung. Mengingat-ingat sesuatu.
            “OSPEK?” tanya Cakka lagi.
            “Ahaaa! Aku ingat. Haha, waktu itu kau dengan ogah-ogahan meniup lilin. Iya kan?” aku tertawa geli. Ia hanya menatapku tanpa ekspresi.
            “Aku memang membenci kue ulangtahun. Aku tidak suka merayakan ulangtahun. Aku BENCI ULANGTAHUN.” Ucapnya kelu. Aku terdiam.
            “Ke..kenapa?” aku memberanikan diri untuk bertanya apa alasan dia membenci ulangtahun.
            “Karena ulangtahun... yang nyata akan mengabur. Tinggal bayangan, bayangan semu... dan bayangan semu itu sendiri juga akan menghilang.” Ia tersenyum tipis. Aku menatapnya tak mengerti. Apa yang sebenarnya dikatakan orang ini?
            “Hm, sudah dulu ya. Aku mau pulang! Selamat ulang tahun, manis. Dah..” ia memasang kembali helmnya.
“Selamat ulang tahun juga untukmu.” Aku mengembalikan helmnya, ia hanya tersenyum pahit, kemudian pergi.
Aku menatap kepergiannya, bingung.

***
Aku persembahkan hidupku untukmu, telah ku relakan hatiku padamu...
18 Desember 2009
Sudah pagi rupanya, aku menguap lebar-lebar. Meregangkan otot-otot untuk menetralisir rasa kantuk yang masih betah menyergapku. 2 minggu terakhir di bulan Desember, mendekati tahun baru. Aku sedikit terhibur mengingat hal itu, setahun yang lalu.
Malam itu, Cakka membawaku ke sebuah cafe di meja 18. Ia memperlakukanku bagai seorang ratu, aku sangat merasa tersanjung. Ia kemudian memberiku setangkai mawar merah –lagi-. Dan mengucapkan kalimat terindah yang pernah ku dengar. “Would you be my girl?” Hahaha, aku ingin tertawa jika mengingatnya, kami terlalu dramatis seperti sinetron, hahaha. Tapi ini bukan sinetron! Ini nyata... dan memang begitu kenyataannya. Hei, apakah kalimatku berlebihan? Kurasa tidak, kalaupun iya, aku tak peduli. Yang pasti, sekarang... Cakka adalah kekasihku.
Hari ini aku sudah berjanji akan ke rumahnya, bertemu calon mertua. Hihi, aku terkikik membayangkannya.
            ***
            “Permisi...”
            Pintu terbuka, Cakka muncul dari balik pintu dengan rambut acak-acakkan. Aku tersenyum geli, meskipun begitu, ia masih terlihat tampan. Ia kemudian mempersilahkan aku masuk, dia bilang kalau Ibunya masih pergi ke minimarket, beli soda kue. Aduh, jangan-jangan mau bikin kue? Yah, aku kan payah dalam hal masak-memasak. Skak mat! Aku melengos.
“Hm, emang mau bikin kue?” tanyaku memastikan. Cakka hanya mengedikkan bahunya. Ia kemudian pamit, pergi mandi. Dasar cowok, matahari sudah di atas kepala begini baru mau mandi. Mentang-mentang libur! Jorok! Aku bergidik.
            Tepat. Tante Tania menantangku membuat sebuah tart. DORR! Dengan wajah tanpa dosa aku mengatakan bahwa aku sangat buta dalam hal masak-memasak. Cakka terkikik melihat tampangku yang menyedihkan ini. Sial! Maklum, meskipun mama jarang pulang ke Indonesia, sedari kecil sudah ada pembantu yang siap memasak makanan untuk aku dan Gabriel. Jadi, aku nggak perlu repot-repot belajar masak dong? Zzz.
Untungnya, tante Tania adalah orang yang baik, ia bersedia mengajariku memasak. Aku bernapas lega. Kami mulai memasak, oh tidak, ini sangat memalukan. Memakai celemek saja aku perlu di bantu tante Tania. Kalau bisa, aku ingin pulang saja. Kuatkan imanmu, Nandaaa...
“Ngapain kamu masih disini? Pergi sana, ini urusan wanita!” perintahku pada Cakka yang masih berdiri disampingku. Ia menoleh sekilas, lalu kembali asik memasukkan potongan stroberi ke dalam mulutnya.
“Terserah dong, ini rumahku.” Aku berdecak kesal, tante Tania hanya tersenyum melihat tingkah kami. Ah, mertua idaman.
Selesai. Tart sudah siap santap! Yeah, aku tersenyum kagum pada tart ditanganku ini. Bagaimana tidak? Ini tart buatanku broooo... hm, tidak, lebih tepatnya adalah.. tart buatan tante Tania. Aku hanya sedikit membantu memotong buah dan menaburkan coklat bubuk diatasnya. Apapun itu, yang pasti aku sangat bahagia melihat tart ini.
“Tadaaaaa!!! Nih tart nya udah jadi, cantik kan!” pamerku pada Cakka. Ia mengernyitkan dahi. Menatapku aneh.
“Kenapa kamu ngelihat aku kayak gitu?”
“Haha, kamu ini... baru juga bikin tart, udah bangga.” Cakka tertawa kecil. Aku manyun.
“Menyebalkan!!!!! Kamu ngeremehin aku? Emangnya kamu bisa?” tanyaku sambil menjitak kepala Cakka. Ia mengerang sambil mengelus-elus kepalanya.
            “Dari SMA Cakka udah belajar masak, nak Nandaa.” Ucap tante Tania dari dapur. Aku meringis menahan malu. Cakka tersenyum menang.
            “Makanyaaa, kalau mau jadi istri ku, harus bisa masak! Gak lucu juga kalau udah rumah tangga nanti aku yang masak.” Ujar Cakka tanpa dosa lalu ngeloyor pergi. Aku menatapnya cengo. Pandangan hidupnya terlampau jauh.
            Lagi-lagi tante Tania tersenyum. “Kalau nak Nanda mau, tante mau ngajarin kok.” Aku menganggukkan kepala, tersenyum malu.

***
            Namun kau masih bisu, diam seribu bahasa. Dan hati kecilku bicara... Baru ku sadari, cintaku bertepuk sebelah tangan. Kau buat remuk seluruh hatiku...
            18 Agustus 2010
            Selamat pagi Duniaaaaaa....
            Awali hari dengan senyuman! Yeahhhh! 18 Agustus yah? Aku makin tua ajanih, hihi. Ku buka tirai kamarku. Kemudian berjalan menuju balkon, menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya pelan-pelan melalui mulut. Hmm...
            Hari ini aku akan kasih Birthday Surprise untuk Cakka, ah.. tunggu saja anak nakal!!! Aku tertawa jahil.
            Aku berjalan menuju dapur, bahan-bahan sudah siap. Celemek sudah melekat di tubuhku. Oke! Siap peraangggg! Bukan, maksudku... Siap masakkkk! Hahaha, aku akan membuat tart untuk Cakka, setelah 1 semester privat masak sama tante Zahra, aku semakin yakin bahwa tart buatanku ini layak pangan. Hihi...
            Kringgg!!!
            Suara telepon itu sangat mengangguku. Aku sedang memasak, dasar telepon!!! Kuraih telepon yang memang terletak tak jauh dariku. Siap memaki siapa yang berani menelponku dalam keadaan genting seperti ini, ini berlebihan.
            “Selamat ulang tahun, manissss....” ucap seseorang di ujung sana yang ku tahu pasti itu adalah suara Cakka. Kedua kalinya, aku gagal memaki Cakka.
            “Selamat ulang tahun juga buat kamu, gantenggg...”
            “Doa ku yang terbaik slalu untukmu, sayang.”
            “Aku juga, doa ku selalu menyertaimu sayang. Oiyaaa, aku sekarang udah mahir masak lhoooo, jadi kamu nggak usah khawatir lagi kalo nanti kita nikah, aku udah bisa masak kok. Hihi.” Ucapku menggebu-gebu. Aku yakin, Cakka disana juga tersenyum.
            “Hehe, selamat kalau begitu. Nandaa, maaf, kalo ini akan nyakitin kamu. Hari ini... ak.. aku akan berangkat ke Bandung, kakek mau jodohin aku dengan.... gadis pilihannya. Dan kami akan menikah secepatnya, aku... gak bisa menolak. Kakek punya sakit jantung, dan.... aku gak mau kakek kenapa-kenapa. Kamu bisa ngertiin kan?” seketika aku roboh. Hatiku hancur, mencelos. Tak terasa, pisau menyayat jari tanganku. Darah mengalir deras, begitu juga airmataku.
            “Semoga kamu bahagia ya... Jaga dirimu baik-baik... aku yakin, ka.. kamu akan dapetin penggantiku yang pasti lebih baik dari aku. Aku menyayangimu, Na-auku  manisss...” suara Cakka bergetar... menyayat hati. Nggak akan ada yang lebih baik dari kamu, kka. Tolong jangan pergi... namun kata-kata itu terasa berat ku katakan. Aku terdiam.
            “Dah... Happy birthday...” ucapnya menutup telepon. Hatiku berdesir, dinding dapur yang kuat dan kokoh ini terasa menghimpitku. Mengoyak tubuhku. Aku hancur...
            “Arghhhhhhhhhhhh!!!!!! Aku membencimuuu Cakkaaaaa!!!!!!” aku berteriak. Namun percuma, Cakka tak akan mendengar jeritanku. Aku menangis... kenapa kamu pergi di saat kita berulangtahun, kka. Kenapaaa?

***

            “Kasih ini untuk Na-au  ya, ma. Bilang sama dia... aku tetap mencintainya...” ucap seorang laki-laki yang terbujur lemas di ranjang yang penuh dengan berbagai alat medis itu, Cakka.
Tante Tania menerima surat yang diamanatkan padanya. Ia tersenyum pilu. Tak tega melihat anak laki-lakinya menderita seperti itu, kalau bisa ia sudi menggantikan posisi anaknya. Tapi itu tidak mungkin.

***
            Semoga waktu akan mengilhami, sisi hatimu yang beku. Semoga akan datang keajaiban, hingga akhirnya kau pun mau...
            18 Agustus 2011
            Tadi pagi ketika saran,aku mendapat Sms misterius dari nomor yang tak ku kenali,ia mengajak ku untuk bertemu di tmpat aku dan Cakka pertama kali jadian.
***
            Sekarang aku sedang duduk di sini. Di tempat dimana kamu memintaku untuk jadi kekasihmu. Meja 18. Hihi, memalukan. Sudah tau dia suami orang! Masih saja mengingatnya. Aku menggerutu tak jelas.Aku masih bingung siapa dan untuk apa orang itu memintaku untuk dating ke sini.
            “Kak Nanda, ya?” tanya seseorang mengagetkanku. Aku menoleh.
            “Iya, kamu siapa ya?” sepertinya gadis ini masih SMA. Tampangnya masih sangat belia, tapi penampilannya sungguh membuatnya terlihat dewasa.
            “Angel. Adik kak Cakka.” Jawabnya tegas. Aku terkesiap. Hah?
            “Untuk apa kamu menemui ku?” aku mulai memasang wajah tak suka. Bukan, aku bukannya membenci gadis ini, tapi aku sangat membenci nama terakhir yang ia sebut tadi.
            “Kak.. hm.. kakak masih membenci kak Cakka?” tanya nya hati-hati. Aku menatapnya tanpa ekspresi.
            “Maksud kamu?”
            “Apakah kalau kak Cakka sudah pergi, kakak juga akan tetap membencinya?”
            Aku mendengus sebal. “Toh, dia memang sudah pergi kan? Dengan istrinya.”
            “Kakak salah...” ucap Angel lirih. Aku menatapnya tak mengerti, seolah meminta penjelasan tentang apa yang baru saja ia katakan.
            “Kak Cakka nggak pernah menikah dengan siapapun. Kalaupun ia menikah, ia akan menikah dengan kakak... kak Nanda. Namun penyakit itu dengan cepat menggerogoti tubuh kak Cakka. Kak Cakka bisa bertahan sampai sekarang karena kakak, dengan hadirnya kakak dalam kehidupan kak Cakka belakangan ini. Hingga akhirnya ia merasa lelah, ia sudah nggak kuat lagi. Dan ia memilih untuk mundur... kak Cakka telah meninggal, kak. Itulah alasan kak Cakka membenci ulangtahun, karena ulangtahun... ia semakin dekat dengan penyakit itu... dekat dengan... kematian. Dan kak Cakka nitipin ini buat kakak.” Angel menyerahkan sebuah amplop merah kepadaku, aku mulai merasa bersalah pada Cakka. Ya tuhan...
“Maafin kak Cakka ya kak, dia emang sengaja bikin kakak membencinya di akhir hidupnya, karena kak Cakka nggak mau ngelihat kakak menangisi kepergiannya, dia juga bilang... Kak Cakka akan tetap mencintai kak Nanda.” Ucap Angel akhirnya. Hatiku terasa tertusuk mendengar kalimat terakhir Angel. Oh tuhan... kenapa aku bisa sebodoh ini? Maafkan aku Cakka...

***
Aku membuka amplop merah itu. Kuatkan hatimu Nanda...
Halo manisss...
Mungkin ketika kamu baca surat ini aku sudah ada di surga, hehe... Maafin aku ya Nand, udah bikin kamu kesel. Udah bikin kamu benci sama aku. Aku ngelakuin ini semua cuma karena nggak pengin bikin kamu nangis ngelihat aku pergi. Jaga dirimu baik-baik ya... Jangan nakal! Kuliah yang rajin, jangan sampai telat dan kena hukuman Ms. Atri atau di kerjain Mr. Irsyad lagi... Karena kalau iya, kamu udah nggak ada temen se-hukuman lagi. Hihi..
Hm, selamat! Sekarang udah pinter masak, jadi nanti kalau kamu udah nikah, gak perlu susah-susah cari pembantu, hehe. Ini ada mawar merah lagi buat kamu, jaga baik-baik! Ini limited edition, pemberian terakhir dari aku. Jangan nangis ya... oke cukup! Dah manisss! Dah chef Nandaa
Si ganteng!      
CAKKA
Aku menutup surat itu, kemudian merogoh amplop itu lagi. Mawar merah yang sudah layu, bahkan kelopaknya sudah lepas dari tangkainya. Terima kasih Cakka, kamu udah ngasih warna dalam hidupku. Dan aku.. juga masih menyangimu, Cakka.
-END-

Popular Posts