Perkembangan Tafsir Klasik hingga Tafsir Modern





Kata tafsir secara etomologi merupakan bentuk masdar dari kata  fassara-yufassiru-tafsiir. Tafsir disini bararti bayan atau penjelasan. Menurut Ali Al-Hasan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an dari aspek penunjukkannya kepada maksud Allah berdasarkan kemampuan manusia. Tujuan utama dalam penafsiran Al-Qur’an adalah untuk menjelaskan kehendak Allah SWT dan operasionalisasi kehendak itu dibidang akidah, syariat dan nilai-nilai etis maupun keadaban untuk perbaikan dan pembersihan jiwa manusia.
            Dalam masa perkembangannya, tafsir dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase atau zaman, yakni tafsir klasik, tafsir pada abad pertengahan dan tafsir kontemporer. Berikut penjelasan sejarah perkembangan tafsir dari masa kemasa.
1.      Tafsir Klasik
Sejarah perkembangan tafsir pada masa klasik mencakup dalam tiga periode atau masa, yakni masa Nabi Muhammad SAW, masa para sahabat dan masa para tabi’in. Pada masa Nabi Muhammad SAW penafsiran tentang Al-Qur’an tidak ada perselisihan didalamnya mengenai hasil tafsiran ayat al-Qur’an dikarenakan pada masa tersebut masih ada Nabi Muhammad  SAW yang mereka jadikan acuan untuk bertanya jika ada hal yang tidak di mengerti dalam tafsiran ayat Al-Qur’an. Tetapi pada masa para sahabat, penafsiran ayat Al-Qur’an mulai mengalami kecenderungan terhadap madzhab tertentu yang menjadikan tafsiran ayat al-Qur’an diragukan. Karena pada masa ini nabi Muhammad SAW telah meninggal dunia dan belum menafsirkan semua ayat Al-Qur’an. Kemudian penafsiran dilanjutkan oleh para tabi’in. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an para tabi’in menggunakan akal dan pikiran mereka dalam menafsirkannya. Mereka juga menggunakan ijtihad mereka yang telah mereka bahas dalam forum menafsirkan ayat Al-Qur’an. Karena para tabi’in menggunakan pemikiran mereka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an maka hasil tafsirannya pun agak condong mengarah terhadap madzhab yang mereka pegang atau yakini.
Hal inilah yang terkadang banyak menimbulkan perselisihan tafsiran ayat Al-Qur’an di zaman sekarang. Di karenakan kurangnya ilmu pula tentang Al-qur’an.
2.      Tafsir Abad Pertengahan
            Perkembangan karya tafsir memasuki era pertengahan,yaitu sekitar pada abad ke3- sampai abad ke-16 Hijriah.Periode ini ditandai dengan munculnya hasil penafsiran yang lebih sistematis,terutama dengan terkodifikasinya banyak karya tafsir.Dalam peta sejarah pemikiran islam,periode ini dikenal sebagai zaman keemasan bagi ilmu pengetahuan.Setelah periode sahabat beserta tabiin,pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa yang berkuasa pada saat itu yaitu pada masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah.
            Secara garis besar tafsir Al Quran pada periode pertengahan ini diklasifikasikan menjadi lima periode,yaitu:
1.Periode 1,pada zaman akhir Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah.Periode ini pembukuan hadist menjadi prioritas utama dengan mencakup berbagai bab.Tafsir  hanya salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupinya.Pada masa ini tafsir hanya memuat tafsir Al Qur’an,surat demi surat,ayat demi ayat dari awal Al Qur’an sampai akhir,memang bulum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadist.
2.Periode 2,telah dilakukan pemisahan tafsir dari hadist dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut.Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At Thabari,Ibnu Abi Hatim,dan Al Hakim dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’in.Terkadan juga disertai pen-tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbath sebuah hukum serta panjelasan kedudukan i’rob-nya jika diperlukan sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir Al –Thabari.
3.Periode 3,membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya.Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaff yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran/kesalahan dari tafsir tersebut.
4. Periode 4, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar Islam. Sehingga pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassirnya. Seperti tafsiranya Fakhruddin Ar-Rozi yang hanya memperhatikan filosof saja dalam penafsiranya.
5.  Periode 5, tafsir maudhui yaitu tafsir dibukukan menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan. Seperti yang ditulis oleh Ibn Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan Fî Aqsami Al-Qur’an, Abû Ja’far An-Nahhas dengan Nasih wal Mansukh, Al Wahidi dengan Asbab An-Nuzûl, dan Al Jasshash dengan Aḫkâm Al-Qur’ânnya. [1]
Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql atau ma’tsur) dari hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat, maupun tabi’in, dan ulama-ulama setelahnya (tabi’ al-tabi’in) lengkap dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir milik Al Thabari yang sering menyelipkan pendapat-pendapat ulama (baik dalam masalah gramatika Bahasa Arab, mazhab fikih ataupun aliran-aliran ilmu kalam), yang kemudian men-tarjih-nya (mengunggulkan salah satu pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta menggali hukum dari ayat-ayat Al Qur’an. Selain riwayat dari Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat, tabiin, mereka juga mengutip tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya beserta sanad yang sampai kepada sang pengarang tafsir. Selain itu, maraknya riwayat isrâ’îliyyât juga mewarnai tafsir generasi ini.
Kebijakan dinasti Abbasiyyah sangat mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti ilmu gramatika Arab, hadis, sejarah, ilmu kalam, dan lainnya mendapat perhatian yang cukup besar. Mulai periode ini dan periode setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat dan tabiin (naql, riwayat), mulai bergerak menjalar ke wilayah nalar ijtihad (‘aqli). Penafsiran tidak lagi sekedar hanya menukil riwayat-riwayat dari pendahulunya. Ayat-ayat yang tidak atau belum sempat ditafsiri oleh Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam maupun sahabat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai ladang penafsiran dengan al ra’yi al ijtihadi. Belum lagi penafsiran-penafsiran pada hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan ayat Al-Qur’an. Tafsir juga dijadikan sarana pencarian pembenaran bagi sebagian golongan. Apalagi dengan maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fiqih, aliran-aliran ilmu kalam, sampai dengan bidang gramatika Bahasa Arab (nahwu dan sharf). Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan golongan atau bidang yang mereka geluti.
            Dengan latar belakang seperti tersebut diatas, maka dapat ditebak kalau tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh kepentingan spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassirnya. Adanya orang-orang tertentu diantara para peminat studi masing-masing disiplin ilmu yang mencoba menggunakan basis pengetahuannya sebagai kerangka pemahaman Al-Qur’an, atau bahkan diantaranya yang sengaja mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari Al-Qur’an, maka muncullah apa yang disebut dengan tafsir fighî, tafsir I’tiqadî, tafsir sufî, tafsir ilmî, tafsir tarbawî, tafsir akhlaqî, dan tafsir falsafî.
Penafsiran–penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut hingga melahirkan beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam. Meskipun demikian, masih ada kitab tafsir yang tetap berpegang teguh dengan konsep riwayat (ma’tsur) di luar Tafsir al Thabarî, seperti Baḫr al-‘Ulûm miliknya al Samarqandî (wafat  373 H), Mu’âlim al Tanzîl tafsir karangan al Baghawî (wafat 510 H),  al-Muḫarrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kîtab al-‘AzîzTafsir karangan Ibn ‘Athiyyah (wafat 546 H), kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm karangan Ibn Katsîr (wafat 774 H), al- Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr karya al-Suyûthî (wafat 911 H).[2]
 B.      Karakteristik Penafsiran Era Pertengahan
           Tafsir merupakan salah satu bentuk usaha pemikiran dan pengkajian Al-Quran oleh manusia yang dilingkupi oleh suasana dan kondisi tertentu sehingga mempengaruhi corak dan karakteristik produk tafsir tersebut. Sebagimana karya tafsir yang dihasilkan oleh para sahabat dan tabi’in era klasik yang memiliki kekhususan, maka karya tafsir pada masa pertengahan ini pun demikian. Diantara karakteristik tersebut adalah:
1. Adanya gagasan asing (non Al-Qur’an) dalam tafsir
    Dengan memperhatiakan latar belakang sang mufasir menjadi mudah kiranya untuk dimengerti bahwa hal tesebut telah membawa pada penyusunan tafsir sesuai dengan karakter mufasir. Inilah yang menyebabkan adanya pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan asing dalam karya tafsirnya. Yang dimaksud gagasan asing di sini adalah pemaksaan kehendak pemahaman teks sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau madzhab sang mufasir yang dirasa jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam tafsiral-Kasyaf karya az-Zamkhsyari, ketika ia menafsirkan QS. al-Qiyamah ayat 22-23
         [3] إلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ   
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna dzahir kata nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut paham mu’tazilah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya ke dalam katagori ayat mutasyabihat.         
2. Banyaknya Pengulangan penjelasan
   Contoh yang dihadirkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gat5ib karya Ar-Razi yang sering mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah pada hampir setiap surat. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
3. Terpisah dengan hadis
Sebagaimana diketahui bahwa pada periode klasik, para ulama belum memisahkan secara spesifik keilmuan tafsir dengan keilmuan hadis, pengkodifikasiannya pun belum ada. Pada periode tengah ini, mulai banyak bermunculan kitab-kitab tafsir murni yang terpisah dengan pembahasan hadis. Mereka tidak memasukkan pembahasan hadis yang tidak berhubungan dengan tafsir mereka.
    Ketiga karakteristik tersebut secara tersurat menandakan ciri kelemahan atau sisi negatif dari karya-karya tafsir pada era pertengahan. Hal ini perlu disebutkan, bagi penulis terutama dalam rangka mengurangi taqlid buta yang cenderung dilakukan oleh banyak umat Muslim setelahnya tanpa menggali lebih jauh (mengkritisi) karya-karya tersebut.
    Meskipun demikian pastinya karya-karya tafsir tersebut pernah menjadi “master piece” dalam suatu masa dalam rangkaian sejarah pemahaman Islam dan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan baik pada ini maupun setelahnya, yang artinya hal tersebut masih diterima dengan lapang oleh umat Muslim pada umumnya. Disamping itu corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an pada masa ini mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat islam yang digali dari al-Qur’an.
C.    Tokoh-Tokoh Mufasir Priode Pertengahan
Salah satu hal penting yang perlu diperhatiakan dalam menjelaskan tokoh-tokoh tafsir pada priode pertengahan ini adalah sebelum para mufasir memulai aktifitas penafsirannya terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin ilmu tertentu secara khusus disamping keterhubungan erat mereka dengan paham atau madzhab tertentu. Berangkat dari hal tersebut muncullah berbagai tokoh mufasir sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni atau madzhab yang ia anut. Al Farra’ misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah. Ibnu Jarîr ath-Thabarî disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis ia posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasonalis Mu’tazilah. Sedangkan az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir didaerah basis kaum mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut berpengaruh.
Masih dalam wilayah tafsir yang bernuansa teologis tetapi dari aliran lain, tampilah Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawî yang berusaha merespon pencapaian az-Zamkhsari dan ar-Razi.
Dalam wilayah pendukung fiqh beserta madzhab-madzhabnya, muncul al Abû Ḫasan Ilkiyâ al-Harrâsî dari Madzhab Syafi’i(wafat 504 H) yang melahirkan Aḫkâm al-Qur’ân, al-Qurtubî dan al-Qâdhî Abû Bakar Ibn al–‘Arâbî (wafat 543 H) dari Madzhab Maliki, al-Jashshâsh (wafat 370 H ) dari Madzhab Hanafi. Dari kalangan Ḫanâbilah ada Abû Ya’lâ al-Baghdâdî al-Ḫanbâlî (wafat 832 H) dengan kitabnya yang berjudul al-Tsamarât al-Yâni’ah wa al-Aḫkâm al-Wâdhiḫah al-Qâthi’ah. Dari kalangan Syi’ah Imâmiyyah Itsnâ ‘Asyariyyah pada akhir abad ke 8 H dan awal abad ke 9 H dengan karyanya Kanz al-Irfâ’ Fî Fiqh al-Qur’ân[4]
Dari kalangan ilmu rasional dan filosof juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yaitu Fakhr al-Dîn al-Râzî (wafat 606 H) dengan karyanya Mafâtîḫ al-Ghâib atau nama lain Tafsîr al-Kabîr. Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukungThariqah Naqshabandiyah.
Dari para ahli kisah atau ahli al-atsar ada Ibnu Khazin dan al-Tsa’labi. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddîn Al-Mahalli, Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang memiliki disiplin ilmu tertentu.
3.      Tafsir Kontemporer
A.    Pengertian
Tafsir ((تفسر secara bahasa merupakan bentuk Mashdar dari kata    فسر – يفسر – تفسيرا Yang berarti الايضاح (Menjelaskan),  التبين(Menerangkan),dan    الاظهار  (Menampakan).Tafsir mengikuti wazan Taf’il dapat juga berarti الكشف و البيان (Menjelaskan dan Menguraikan).
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefenisikan tafsir menurut pandangannya masing-masing. Diantaranya adalah:
1. Al-Zarqani
علم يبحث عن القران الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعلى بقدر الطاقة البشرية
Ilmu yang membahas al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia.
2. Al-Zarkasyi
علم يعرف به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وببان معانيه واستخراج احكامه وحكمه
Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Saw. Menjelaskan maknanya, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
3. Khalid bin Utsman al-Tsabt
علم يبحث فيه عن احوال القران العزيز من حيث دلالته على مراد الله تعلى بقدر الطاقة البشرية
Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia.
Dari pengertian-pengertian tafsir tersebut dapat kita pahami bahwa tafsir itu adalah upaya seorang mufassir untuk menjelaskan al-quran untuk mengetahiu makna-maknanya, hukum-hukumnya, dan hikmah-hikmah yang terkandung didalam al-quran.
Sedangkan kontemporer adalah sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online berarti: “pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dan, dewasa ini.”
 Jadi, Tafsir kontemporer dapat diartikan upaya mufassir untuk menjelaskan al-Quran sesuai dengan konteks ayat pada saat ini.

B.     Sejarah Muncul Tafsir Kontemporer
Sebagaimana telah disebutkan pada latar belakang penulisan makalah ini, bahwa tafsir kontemporer baru muncul dan dikenal pada abad 14 H. Dan perkembangannya terus berlanjut sampai saat ini. Munculnya tafsir kontemporer ini erat hubungannya dengan pembaharuan yang dilakukan tokoh-tokoh pembaharu islam di dunia islam. Bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh islam yaitu modernisasi dalam pemahaman beragama ummat. Diantara modernisasi tersebut adalah menggali kembali ajaran-ajaran islam dengan benar dan pemahaman yang lebih kompleks, untuk meninggikan dan membela islam dari serangan sarjana-sarjana barat. Dalam upaya ini, menurut Abdul jalal kaum muslimin giat mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan dan peradaban baru yang dinamis. Seiring gerakan pembaharuan ke Era modern ini, tafsir kontemporer muncul dengan bentuk dan orientasi yang senada dengan modernisasi. Tafsir ini memfokuskan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang dikaitkan dengan kehidupan dan kondisi sosial masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta memfungsikan al-Quran sebagaimana mestinya. Sebagai umat islam, kita memiliki kewajiban untuk mengamalkan seluruh ajaran al-Quran. Dan menurut Quraish Shihab salah satu cara mengamalkan al-Quran adalah dengan menggunakannya dalam kehidupan kontemporer

Kehadiran tafsir modern dipengaruhi oleh faktor berkembangnya pengaruh kebudayaan dalam beberapa penafsiran dan terjadinya dinamika masyarakat yang semakin bermacam-macam dengan segala bentuk problematikanya. Faktor inilah yang melatarbelakngi munculnya tafsir kontemporer menurut Alfiah Tarmizi. Lebih lanjut ia mengatakan pada prinsipnya tafsir modern yang bersifat kontemporer ini memberikan corak dan nuansa baru dalam penafsiran al-Quran sebagai suatu mijizat yang berlaku sepanjang zaman dan dapat diterima oleh semua kalangan karena ia mementingkan realitas kehidupan tanpa menafikan arti dan kapabilitas tafsir salaf yang lebih mementingkan konstektual.

C.    Corak Tafsir Kontemporer
1.      Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi sebagaimana yang disebutkan oleh Drs. Ali Akbar, MIS. Dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, adalah menafsirkan ayat-ayat al-quran berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada. Corak tafsir seperti ini dapat lebih diterima oleh masyarakat karena sesuai dengan teori-teori ilmiah dan rasio yang mereka pahami. Dengan menafsirkan al-quran dengan metode ini maka akan memudahkan untuk memahami al-quran dan memfungsikan al-quran sebagai petunjuk.
Umumnya tafsir ilmi ini membahas masalah ayat-ayat kauniyah dan berusaha untuk membuktikan bahwa dalam al-quran terdapat semua ilmu pengetahuan yang ada didunia ini, baik yang telah lewat ataupun masa depan. Didalam al-quran masih banyak ilmu-ilmu yang belum digali sehingga ini menjadi alasan mufassir untuk menggali al-quran lebih dalam sehingga kandungan al-quran itu benar-benar bisa diketahui.
Seiring perkembangan waktu tafsir ilmi ikut berkembang dan menjadi perhatian banyak ilmuan dan peneliti. Menurut perspektif Quraish Shihab makin meluasnya perkembangan tafsir ilmi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:Pertama adalah reaksi terhadap ketertinggalan umat islam dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia barat. Karena ketertinggalan ini mereka berusaha mencari kompensasi  sebagai sebuah shock therapi atau sebagai salah satu upaya untuk menutupi rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) yang melanda mereka. Salah satunya dengan mengingat kejayaan ummat masa lalu yang secara langsung atau pun tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat islam dalam penafsiran al-quran masa sekarang. Maka, tidaklah mengherankan ketika ada penemuan baru, para cendikiawan muslim akan berlomba-lomba mencari ayat yang berkesesuaian dangan penemuan tersebut dan serta merta akan mengatakan  bahwa apa yang ditemukan sebenarnya sudah tercantum didalam al-quran. Faktor Kedua adalah sebagai reaksi atas resistensi yangbbesar dari gereja terhadap ilmu pengetahuan yang disebabkan adanya pertentangan antara penemuan ilmiah dengan teori gereja. Pertentangan ini menyebabkan kekejaman dan penindasan terhadap ilmuan yang dianggap mendapat kutukan karena membantah gereja. Hal ini menimbulkan statemen dikalangan umum bahwa agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Statemen ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan cendikiawan muslim, kalau-kalau hal yang sama masuk kealam masyarakat islam. Sehingga mereka berusaha untuk membuktikan hubungan erat antara ilmu pengetahuan dengan agama terutama al-quran, walaupun terkadang mereka terlalu jauh dalam membuktikan hal itu.


2.      Tafsir Adabi Ijtima’i
Tafsir adabi ijtima’i menurut Drs. Ali Akbar, MIS. Adalah tafsir yang menitik beratkan penjelasan al-Quran pada segi ketelitian redaksinya. Kemudian menyusun kendungan ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan utama dan tujuan al-quran; yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan; kemudian mengadakan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Dari pengertian yang dikemukakan oleh Drs. Ali Akbar, MIS. Tersebut maka dapat dipahami bahwa tafsir dengan corak adabi ijtima’i ini adalah menafsirkan al-quran sesuai dengan tatanan yang sudah berlaku dimasyarakat tanpa mengesampingkan makna al-quran yang sesungguhnya. Lebih jauh Drs. Ali Akbar, MIS. Menjelaskan bahwa ada empat tafsir pokok dari tafsir tersebut, yaitu:
Pertama:  Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-quran.
Kedua:     Menguraikan makna dan kandungan ayat al-quran  dengan     susunan kalimat yang       indah.
                                        Ketiga:     Aksentuasi yang menonjol pada tujuan yang diuraikannya al-quran.
                             Kempat:   Penafsiran ayat berkaitan dengan sunatullah yang berlaku dalam masyarakat.
D.    Contoh Tafsir Kontemporer
Contoh tafsir kontomporer diantaranya adalah:
طيرا ابابيل oleh Muhammad Abduh dalam menafsirkan surah al-Fiil ditafsirkan dengan Mikroba dan kata بحجارةditafsirkan dengan kuman atau virus. Dengan penafsiran semacam ini akan meyakinkan manausia bahwa apa yang dijelaskan oleh al-quran itu bisa diterima oleh rasio mereka.
Contoh lainnya adalah penafsiran Muhammad Rasyid Ridha dalam menjelaskan makna surah al-A’raf ayat 189, kata نفس واحدة ditafsirkan dengan proton dan kata  زوجهاditafsirkan dengan elektron dan masing-masing keduanya membentuk Atom.

E.     Kitab Tafsir Kontemporer
Diantar Kitab tafsir kontemporer menurut Drs. Ali Akbar, MIS. Adalah:
1.      Corak Ilmi
         Al-Islam Yatahadda Oleh Walid al-Din Khan
         Al-Islam fi Asr al-‘Ilm Oleh Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi
         Al-Ghida wa al-Dawa’ Oleh Dr. Jamal al-Din al-Bandi
         Al-Quran wa al-‘Ilm al-Hadits Oleh Abd al-Razaq Naufal
2.      Corak Adabi Ijtima’i
         Tafsir Al-Manar Oleh Muhammad Abduh Dan Rasyid Ridha
         Tafsir Al-Quran Oleh Ahmad Al-Maraghi
         Tafsir Al-Quran Al-Karim Oleh Mahmud Shoulthut
Selain yang disebutkan diatas  kitab tafsir yang tergolong dalam tafsir kontemporer adalah:
         Sunannullah Al-Kauniyah Oleh Dr. Al-Kauniyah Ahmad Al-Ghamrawi
         Al-Islam Wa Al-Thib Al-Hadits Oleh Dr. Abdul Aziz
         Al-Tafsir Fi Tafsir Al-Qur`An Oleh Asy-Syaikh Muhammad Saayid Thantawi Jauhari.
         At-Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur`An Al-Karim Oleh Aiysah Muhammad Ali Abdurrahman Binti Asy-Syati` Yang Lebih Di Kenal Dengan Binti Asy-Syati.
         At-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Asy-Syari Al-Manhaj. Oleh Wahbah Bin Musthafa Az-Zuhaili
         I’jaz Al-Quran Wa Balaghat An-Nabawiyah Oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i.[5]


[1]Naif, Fauzan, “Al Kasyaf karya al-Zamakhsari” dalam Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: TH Prees, 2004).

[2] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011

[3] QS. al-Qiyamah ayat 22-23
[4] Dhahabi(Al-), Muhammad Husain, Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab Umar al-Islâmî, 2004).
[5] Suyûthî(al-), Jalâl al-Dîn, al-Itqân Fî ‘ulimûl Qur’ân, (Lebanon: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012).

Comments

Popular Posts